Oleh:
Aris Wibowo, Sutijasno, Dian Rodiana, Widodo
Abstrak
Perhutanan klon (clonal forestry) adalah pertanaman yang berasal
dari bibit unggul hasil pembiakan vegetatif (kultur jaringan, stek pucuk,
okulasi, cangkok dll.) yang dihasilkan melalui serangkaian kegiatan pemuliaan
pohon. Perhutanan klon JPP dibangun dengan tujuan untuk menyediakan bahan baku
industri, kayu pertukangan yang bernilai ekonomi. Oleh karena itu, kriteria
seleksi pada uji klon yang diterapkan adalah pohon yang berbatang lurus, batang
bulat, tidak banyak cabang (tidak buncak), cepat tumbuh (tinggi dan diameter)
serta tahan hama dan penyakit.
Sebelum klon-klon unggul dikembangkan, dilakukan pengujian interaksi
genetik dan lingkungannya diberbagai
lokasi untuk mengetahui kestabilan klon, serta keunggulan klon dibanding dengan
bibit lainnya (APB).
Hasil analisa menunjukkan bahwa: 1). Penggunaan bibit asal klon
unggul JPP di petak 51a Pemalang umur 5 tahun meningkatkan pertumbuhan diameter
24 % dan tinggi 19 % dibandingkan bibit
asal APB, sedangkan di petak 215c KPH Nganjuk penggunaan bibit asal klon unggul
meningkatkan pertumbuhan diameter 38,5% dan tinggi 78,1 % dibandingkan bibit
asal APB. 2). Volume pohon berdiri (standing stock) pada umur 5
tahun perhutanan klon di petak 51a KPH Pemalang dengan faktor koreksi 25%
diperoleh 48,7 m3/ha dan bibit asal APB diperoleh 33,24 m3/ha,
sedangkan di petak 215c KPH Nganjuk pada perhutanan klon diperoleh 53,53 m3/ha
dan bibit asal APB diperoleh 23,50 m3/ha. Perhutanan klon volume
pohon berdiri (standing stock) pada umur 5 tahun meningkatkan nilai
ekonomi 47%- 127,7% dibandingkan bibit asal APB. 3). Mati pucuk pada petak
215c KPH Nganjuk bibit asal APB sebanyak 33,3%, dan bibit asal stek pucuk 6 %. Mati
pucuk pada petak 51 a KPH Pemalang bibit asal APB sebanyak 18% dan stek pucuk
klon unggul sebanyak 1 %.
Volume kayu berdiri perhutanan klon umur 6 tahun di petak 49 a, KPH Pemalang sebesar 93,38 m3
/ha apabila faktor koreksi 25% maka volumenya 70 m3/ha (riap volume
12 m3/ha/th). Rata-rata tinggi tanaman 21,7 m dan rata-rata
diameter 19,2 cm. Sebaran kelas diameter pada saat umur 6 tahun
menunjukkan bahwa sebaran kelas diameter dibawah 20 cm sebanyak 59 %, sedangkan
sebaran kelas diameter lebih dari 20 cm sebanyak 41%.
kata kunci: perhutanan
klon (clonal forestry), jati, stek pucuk, standing stock.
I. Pendahuluan
Kawasan hutan di pulau Jawa yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Perhutani
seluas ± 3.077.887,03 ha terdiri atas hutan produksi jati 1.083.924,65 ha dan
jenis rimba 833.038,91 ha sedang yang lainnya berupa hutan lindung, hutan
wisata, taman nasional, suaka alam maupun cagar alam (Statistik, 2004). Namun
demikian, hasil produksi (m³) tebangan hutan jati terjadi penurunan dari
tahun ke tahun, dampak kerusakan hutan akibat penjarahan tahun 1996-1997
produksi kayu jati sekitar 832.571 m³
terjadi penurunan tahun 1998 sampai 2004 hanya 524.745 m³ atau penurunan
sebasar 37% (Statistik, 2004).
Usaha untuk mengoptimalkan fungsi hutan agar mampu menjalankan fungsi
produksi secara optimal dapat dicapai apabila dikelola secara intensif karena
akan memacu munculnya hutan yang prospektif yaitu hutan yang berproduktivitas
tinggi, kualitas produknya prima serta meningkat dari rotasi ke rotasi (Na’iem,
2007). Hutan yang produktif tersebut akan diperoleh bila bibit berkualitas baik
dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang tepat dapat tersedia. Bibit yang
bergenetik unggul dapat dicapai melalui program pemuliaan pohon hutan yang
merupakan penerapan asas-asas genetika dalam penanganan hutan dengan tujuan
memperoleh produksi hasil hutan yang tinggi nilainya (Soeseno, 1992).
Upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas produk tersebut dilakukan
dengan memadukan antara penggunaan bibit unggul dengan memanipulasi lingkungan
seoptimal mungkin dan perlindungan, hal ini yang disebut silvikultur intensif.
Silvikultur intensif dalam pengelolaan hutan jati yaitu menerapkan ‘Panca Usaha
Kehutanan’ yaitu bibit unggul, persiapan lapangan, pemupukan, pemeliharaan, dan
penjagaan (Sadhardjo dan Aris Wibowo, 2003; Sunarno, dkk, 2007; Sutijasno dkk,
2007).
Bibit unggul yang dikembangkan di Perum Perhutani berasal dari generatif
dan vegetatif. Dalam makalah ini hanya
akan dibahas tegakan yang berasal dari vegetatif (stek pucuk) yang disebut
perhutanan klon.
Perhutanan klon (clonal forestry) adalah pertanaman yang dibangun
berasal dari bibit unggul hasil pembiakan vegetatif (kultur jaringan, stek
pucuk, okulasi, cangkok dll.) melalui serangkaian kegiatan pemuliaan pohon.
Perhutanan klon JPP dibangun dengan tujuan untuk menyediakan bahan baku
industri, kayu pertukangan yang bernilai ekonomi.
II. Pengembangan
Perhutanan Klon
Dalam pengembangan perhutanan klon perlu adanya kebun pangkas sebagai
penghasil stek pucuk. Kebun pangkas klon unggul JPP telah di bangun sejak tahun
2007-2010 di Unit I,II dan III, seluas 25,65 ha. Pada tahun 2010 telah
berproduksi bibit stek pucuk sekitar 10 juta.
Pembangunan perhutanan klon yang dimulai tahun 2003 dan dikembangkan secara
operasional mulai tahun 2007 sampai
tahun 2009 telah tertanam sekitar 7.000 ha, dan tahun 2010 direncanakan sekitar
10.000 ha.
III. Hasil Pengembangan
Perhutanan Klon Unggul JPP
Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan perhutanan klon akan dibahas:
penggunaan klon unggul dibandingkan APB dan hasil pertumbuhan perhutanan klon.
a. Penggunaan klon unggl JPP (perhutanan klon) dibandingkan APB umur 5 tahun
di petak 51a KPH Pemalang dan petak 215c KPH Nganjuk
Design penempatan plot uji coba dengan RCBD (Randomized Complitely Block
Design), 5 blok, 25 treeplot, dan diulang 6 KPH. Hasil pengamatan
menunjukkan penggunaan bibit asal klon unggul JPP di petak 51a KPH Pemalang
umur 5 tahun dapat meningkatkan pertumbuhan diameter 24 % dan tinggi tanaman 19 % dibandingkan bibit
asal APB, sedangkan di petak 215c KPH Nganjuk penggunaan bibit klon unggul JPP
dapat meningkatkan pertumbuhan diameter 38,5% dan tinggi tanaman meningkat 78,1
% dibandingkan bibit asal APB. Pada penggunaan bibit asal APB sampai umur 5
tahun di dua lokasi uji belum tercapai diameter lebih dari 17 cm, sedangkan
perhutanan klon sebaran diameter diatas 17 cm telah mencapai 35 % (Tabel 1).
Tinggi tanaman pada perhutanan klon umur 5 tahun telah mencapai 15,7 m,
sedangkan tinggi tanaman bibit asal APB di Pemalang 13,4 m dan bibit asal APB
di Nganjuk 8,9 m (Tabel 2).
Tabel 1. Rata- rata
diameter dan tinggi tanaman klon unggul JPP dan bibit asal APB umur 5 tahun.
KPH
|
Rata-rata Diameter (cm)
|
Rata-rata tinggi (m)
|
||
Klon Unggul JPP
|
APB
|
Klon Unggul JPP
|
APB
|
|
Pemalang
|
16,0
|
13,0
|
15,4
|
13,4
|
Nganjuk
|
16,1
|
11,6
|
15,7
|
8,9
|
Tabel 2. Prosentase sebaran
kelas diameter klon unggul JPP dan bibit asal APB umur 5 tahun.
Sebaran kelas diameter
(cm)
|
KPH Pemalang
|
KPH Nganjuk
|
||
Klon Unggul JPP
(%)
|
APB
(%)
|
Klon Unggul JPP
(%)
|
APB
(%)
|
|
6-9
|
4
|
11
|
2
|
23
|
10-13
|
9
|
44
|
7
|
58
|
14-16
|
48
|
41
|
53
|
14
|
17-19
|
32
|
-
|
31
|
-
|
20-21
|
3
|
-
|
4
|
-
|
Gambar 3. Sebaran kelas diameter antara klon JPP dan APB di Pemalang.
Gambar 4. Sebaran kelas diameter antara klon JPP dan APB di Pemalang.
Volume pohon berdiri (standing stock) pada umur 5 tahun di petak 51a
KPH Pemalang dengan faktor koreksi 25% klon unggul JPP diperoleh 48,7
m3/ha dan bibit asal APB diperoleh 33,24 m3/ha,
sedangkan di petak 215c KPH Nganjuk pada klon unggul JPP diperoleh 53,53
m3/ha dan bibit asal APB diperoleh 23,50 m3/ha. Perhitungan
volume menggunakan Tabel Volume Lokal (TVL) setempat.
Prosentase mati pucuk pada petak 215c KPH Nganjuk bibit asal APB sebanyak
33,3%, dan bibit asal stek pucuk 6 %.
Sedangkan mati pucuk di petak 51 a KPH Pemalang bibit asal APB sebanyak
18% dan stek pucuk klon unggul sebanyak 1 %.
Bibit klon dan APB dalam pengamatan ini biaya pembuatan tanaman dan biaya
lainnya yang dikeluarkan sama maka akan meningkatkan nilai ekonomi (diasumsikan
harga jual kayu sama) sebesar 47-127,7% dibandingkan APB.
b. Hasil Pertumbuhan Perhutanan Klon Petak 49a KPH Pemalang
Perhutanan klon petak 49a KPH Pemalang ditanam bulan Februari 2004, bibit
berasal dari stek pucuk klon unggul JPP.
Gambar 1. Grafik volume kayu berdiri perhutanan klon
Volume kayu berdiri perhutanan klon
umur 6 tahun di petak 49 a, KPH Pemalang
sebesar 93,38 m3 /ha apabila faktor koreksi 25% maka
volumenya 70 m3 /ha (Gb.1). Rata-rata tinggi tanaman 21,7 m dan rata-rata
diameter 19,2 cm. Sebaran kelas diameter pada saat umur 6 tahun menunjukkan
bahwa sebaran kelas diameter dibawah 20 cm sebanyak 59 %, sedangkan sebaran
kelas diameter lebih dari 20 cm sebanyak 41 %.
Apabila diasumsikan, bila pertambahan diameter 1,9 cm/tahun mulai tahun ke
tujuh sampai tahun ke sepuluh maka akan diperoleh rata-rata diameter 24,8 cm,
sehingga akan diperkirakan diperoleh volume kayu berdiri pada umur 10 tahun
sebesar 135,75 m3/ha (faktor koreksi 25%).
Tabel 3. Prosentase
sebaran kelas diameter perhutanan klon umur 6 tahun
NO
|
Sebaran
Kelas Diameter
(Cm)
|
Prosentase
(%)
|
1
|
10-13
|
4
|
2
|
14-16
|
17
|
3
|
17-19
|
38
|
4
|
20-22
|
28
|
5
|
23-25
|
10
|
6
|
26-28
|
2
|
IV. Tantangan Terhadap
Pengembangan Perhutanan Klon
Permasalahan pengembangan perhutanan klon yaitu:
a. Perlu perawatan
intensif pohon donor (kebun pangkas) sebagai penghasil pucuk.
b. Perlu lokasi
persemaian dan kebun pangkas yang permanen, air ada sepanjang tahun.
c. Distribusi
bibit akan mahal dikarenakan lokasi persemaian yang permanen sehingga pembuatan
bibit tidak dapat dekat lokasi penanaman.
d. Stek pucuk
merupakan hal yang baru dalam pembuatan bibit jati di Perum Perhutani sehingga
perlu sumber daya manusia (SDM) terlatih.
e. Setelah ditanam
bila tidak segera dipupuk anorganik pertumbuhan agak lambat, karena sifat bibit
yang secara kronologis berumur tua, namun apabila setelah dipupuk pertumbuhan
akan sangat cepat.
f. Pertumbuhan
kurang optimal bila ditanam pada banjar harian. Perhutanan klon yang ditanam
pada lahan yang ditumpangsarikan pada umur 3 dan 4 tahun di KPH Ngawi pertumbuhannya
2 kali lipat dibandingkan banjarharian (Wibowo, 2009).
g. Monitoring dan
evaluasi pemeliharaan dan pengamatan pertumbuhan lebih intensif sesuai SOP.
Keuntungan pengembangan
perhutanan klon yaitu:
a. Bibit tersedia sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim.
b. Bibit unggul diperoleh sangat cepat dan konsisten serta sangat kecil
dipengaruhi oleh mutasi gen, potensi genetik ditangkap penuh oleh anakannya
(Soeseno,1977).
c. Kebun pangkas dapat dipanen secara kontinyu sampai beberapa tahun, bahkan
kebun pangkas jati di Cepu sudah berumur 7 tahun masih berproduksi.
d. Setelah diperoleh sifat kelurusan batang, kecepatan pertumbuhan, maka
sifat-sifat tersebut tidak akan mudah terjadi mutasi dan rekombinasi gen, serta
semua potensi genetik keunggulan akan ditangkap penuh oleh anakannya.
e. Pertumbuhan klon di lapangan seragam sehingga lebih memudahkan tindakan
silvikultur berikutnya.
f. Pengembangan klon merupakan teknik mempercepat strategi pemuliaan.
g. Dengan tindakan silvikultur yang tepat, akan diperoleh produktivitas yang
tinggi.
Kesimpulan
1. Pertumbuhan diameter tanaman perhutanan klon lebih cepat 24- 38,5% dan
tinggi 19-78% dibandingkan bibit asal APB.
2. Pada perhutanan klon volume pohon berdiri (standing stock) pada umur
5 tahun meningkat 47%- 127,7% dibandingkan bibit asal APB.
3. Mati pucuk petak 215c KPH Nganjuk bibit asal APB sebanyak 33,3%, dan bibit
asal stek pucuk 6 %. Mati pucuk petak 51 a KPH Pemalang bibit asal APB sebanyak
18% dan stek pucuk klon unggul sebanyak 1 %.
4. Bibit klon dapat meningkatkan nilai ekonomi (diasumsikan harga jual kayu
sama) sebesar 47%-127,7% dibandingkan APB.
5. Volume kayu berdiri perhutanan klon umur 6 tahun di petak 49 a, KPH Pemalang sebesar 93,38 m3
apabila faktor koreksi 25% maka volumenya 70 m3.
6. Perhutanan klon pertumbuhan seragam sehingga akan memudahkan tindakan
silvikulturnya.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada:
1. Kapuslitbang Perhutani, Wakapusrenbanglit, sdr. Wahyu Setiawan (Staf
Perhutanan klon Puslitbang di KPH Pemalang), sdr. Sahri (Staf Perhutanan klon
Puslitbang di KPH Ngawi), sdr. Sunandar (Staf Perhutanan Klon KPH Nganjuk) dan
semua pihak yang telah memberikan dukungan terlaksananya pembangunan perhutanan
klon.
2. Tim Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan UGM (alm.Prof Dr. Oemi HS. dan Prof
Dr. M. Na’iem) sebagai inisiasi pertama penelitian kebun pangkas, stek pucuk
dan uji klon jati di Perum Perhutani dalam rangka mewujudkan perhutanan klon
jati.
Daftar Pustaka
Na’iem, M. 2007. Peran Pemuliaan Pohon dalam
Meningkatkan Produktivitas Hutan. Hand Out Pemuliaan Pohon Lanjut, Fakultas
Kehutanan UGM.
Sadhardjo dan Aris Wibowo, 2003. Peningkatan
Produktivitas Tegakan Jati Melalui Silvikultur Intensif. Seminar Reuni
Fakultas Kehutanan UGM.
Sadhardjo dan Hertapari, 2001. Kartu Menuju Sehat JPP.
Buku Seperempat Abad Pemuliaan Jati Perum Perhutani.
Sunarno, FA, Wakhid Nurdin, Sutijasno, dan Aris Wibowo,
2007. Pengembangan JPP melalui Silvikultur Intensif. Prosiding Seminar
Berjalan Pengembangan JPP 2007. Puslitbang Perum Perhutani.
Sutijasno, Aris Wibowo dan Sunarno, FA. 2007. Silvikultur
Intensif Pembangunan Hutan Jati di Perum Perhutani. Seminar 26 Februari
2007 di fakultas Kehutanan UGM.
Soeseno, OH. 1993. Status Pemuliaan Pohon dan
Bioteknologi Hutan di Indonesia Saat Ini. Prosiding Seminar Nasional Status
Silvikutur di Indonesia Saat Ini. Yogyakarta.
_______, 1977. Perbanyakan Vegetatif. Yayasan
Fakultas Kehutanan UGM.
Statistik, 2004. Statistik Perum Perutani. Jakarta
Wibowo Aris, Sutijasno, Dian Rodiana, 2009. Peningkatan
Produktivitas Perhutanan Klon JPP. Seminar Diseminasi Hasil Penelitian
Puslitbang. Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar