Oleh: Aris Wibowo
Puslitbang Perhutani-Cepu
1. Sistematika dan Persebaran Jati
Menurut Heyne
(1987), tanaman jati memiliki nama daerah bermacam-macam, seperti teaka,
teackbaum (Jerman), teak (Inggris), jati, jatos (Jawa), dan nama daerah lainya
kyan (Myanmar), sagwan (India), maisak (Thailand), teck (Perancis), teca
(Brazillia), Java teak (Jerman). Sistematika secara ilmiah jati (Tectona grandis Lf.) seperti yang
dikutip dari Lawrence (1958) sebagai berikut:
Divisio :
Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Lamiales
Sub ordo : Verbenales
Familia : Verbenaceae
Genus : Tectona
Species : Tectona
grandis L.f.
Penyebaran jati alam terdapat di Asia Tenggara, dari
India melalui Burma dan Thailand ke Laos, antara 730-1030
Bujur Timur. Di India dibatasi oleh 90 garis Lintang Utara, dan di
Burma 25,50 Utara. (Kaosa-ard 1986 : Kaosa- ard, 2000). Di Indonesia
jati juga terdapat secara alam terutama di Jawa, Kangean, Bali dan Muna, pada 70
lintang dan 1060 sampai 1230 bujur Timur, juga ditemukan
di Buton, Maluku (Wetar), Sumbawa dan Lampung (Sastrosumarto dan Suhaendi,
1985). Lebih lanjut Soeseono, dkk.(1995) menjelaskan bahwa sebaran alami jati
terdapat di India, Burma, Muangthai, Vietnam dan di tanam diluar sebaran
alaminya antara lain di Papua New Guenea, Malaysia, Sabah, Filipina, Brunai,
Trinidad, Puertorico, Afrika Tropika, Ceylon, Cina. Sampai sekarang belum jelas
apakah jati di Jawa, Bali, Kanggean dan Muna merupakan species asli atau introduksi dari India (Hedegart, 1976;
dalam Soeseno, dkk, 1993). Tetapi menurut Poerwokoesoemo (1956) jati mungkin
species asli Indonesia berdasarkan beberapa bukti tentang nama tempat yang
menggunakan nama jati. Tanaman jati di Indonesia sampai saat ini masih
diperdebatkan asalnya. Ada teori Altona (1922) yang menyatakan bahwa jati di
Indonesia dibawa oleh bangsa Hindu. Apabila hal itu benar diperkirakan tanaman
jati pertama di Indonesia pada tahun 500-an.
Jati tumbuh subur dan mencapai ukuran besar pada daerah
yang memiliki iklim tropika yang panas dan lembab, dengan curah hujan tahunan 1200-2500
mm (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Di Indonesia jati dapat tumbuh di tanah
datar dan berbukit rendah sampai ketinggian 700 meter diatas permukaan laut
(dpl.) dan bila ketinggiannya lebih dari 700 m dpl. sudah jarang ditemui.
Sedangkan di India jati masih dapat tumbuh pada ketinggian 1300 m dpl. dan di
Burma 1000m dpl. (Hardjodarsono, 1985).
Tanaman jati termasuk jenis suka cahaya, dapat mencapai tinggi
45 m, ukuran diameter batang 150 cm, batang bebas cabang dapat 60 % dari tinggi
pohon dan mencapai umur 500 tahun pada tempat tumbuh yang baik. Pertumbuhan
pohon jati dapat mencapai tinggi 50 meter pada tanah subur (bonita 5-6),
sedangkan pada jenis tanah yang kurang subur seperti margel, batu kapur,dan batu
pasir, tinggi pohon hanya mencapai 30m (Poerwokoesoemo, 1956). Jati tumbuh baik
pada daerah dengan curah hujan rata-rata 1.250-2.500 mm pertahun, dengan 3-5
bulan kering per tahun. Temperatur optimum adalah 270 C -360 C
pada siang hari dan antara 200 C-300 C pada malam hari (
Kaosa-ard 1986 : Kaosa- ard, 2000).
Jati adalah “calciolus
tree species” yaitu memerlukan unsur kalsium dalam jumlah relatif besar
dari tumbuhnya untuk tumbuh dan berkembang ( Kaosa-ard, 1986). Hal ini
dibuktikan dari hasil analisa abu yakni ditemukannya unsur-unsur yang paling
banyak pada kayu jati adalah Calcium (CaO) 31,3%, Phosphorus (P2O5) 29,7% dan Silica
(SiO2)sebanyak 25 %
(Sarjono, 1984).
2. Awal Penelitian Pemuliaan Jati
Dalam pengelolaan jati pada
dekade 1800-an selain penebangan kayu, ternyata telah dilakukan
penelitian-penelitian tentang seleksi dan varietas jati. Tepatnya pada tahun
1829 dalam Regleman pengelolaan jati diinstruksikan tentang penanaman biji jati
barasal dari biji jati sungu, jati minyak, dan jati lainnya yang baik, tetapi
bukan jati kapur. Pada tahun 1851 Dr. S. Figee, telah melakukan penelitian BJ
(berat janis) antara kayu jati Jawa (BJ = 0.645 dan 0.674) dan kayu Jati dari
India (BJ= 0.617; 0.743, dan 0.639). Pada tahun 1866 De Sturler juga meneliti berat
jenis dan daya tekan kayu dari berbagai varietas jati yaitu berat jenis jati
kapur 0.640, berat jenis jati sungguh 0.739 dan berat jenis jati doreng 0.750 .
Hasil pengamatan Dr. Nordlinger menunjukkan bahwa dalam satu batang mulai dari
pangkal sampai ujung mempunyai berat jenis yang berbeda. Lebih lanjut Dr.
Nordlinger melakukan penelitian berat jenis dengan hasil yang berbeda-beda pada
beberapa varietas jati (jati doreng, jati kapur, jati soenggoeh, jati lengo,
jati weroe dan jati duri) di Randublatung dan Rembang (Cordes, 1881).
Menurut Cordes (1881)
penggunaan jati berdasar BJ (berat janis) berdasarkan verietas, seperti jati
doreng karena seratnya mempunyai gambaran yang indah dipergunakan untuk membuat
meja, kursi atau perabot rumah tangga lainnya. Lebih lanjut Cordes (1881)
menerangkan bahwa jati asal Malabar dianggap paling baik untuk pembuatan
perahu. Soepardi 1931 menyatakan bahwa jati doreng lebih disebabkan adanya
zat-zat hitam didalam buluh kayu.
Pengamatan varietas jati
terus dilakukan, pada tahun 1931 Van-Dorn melakukan pengamatan varietas jati
benjol lebih disebabkan oleh tunas. Tahun 1937, Bianchi dalam majalah Tectona
menjelaskan hasil pengamatannya tentang sifat mekanis kayu jati asal Jawa, Siam dan Burma, bahwa jati Jawa
setaraf dengan jati Burma dan Siam. Hasil pengamatannya antara lain: berat
jenis (0.703) jati Burma lebih tinggi dari jati Jawa dan Siam (0,63-0.67),
kekuatan hingga batas perimbangan dari ketiga kayu hampir sama, dsb. Dengan
melihat berbagai percobaan di atas jelas bahwa usaha pemuliaan pohon jati telah
dilakukan sejak dahulu seperti mempelajari seleksi dan varietas jati.
Pada tahun 1897 secara resmi
dimulai pengelolaan hutan jati di Indonesia ditandai dengan berdirinya Jawatan
Kehutanan. Sistem kebijakan dan metodologi yang dianut, berkembang sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosial ekonomi.
Seleksi benih jati untuk
bisa menjadi tanaman jati yang baik, subur dan kuat telah dilakukan kira-kira
tahun 1920-an. Tahun 1921 Dr. R. Wind menulis dalam majalah Tectona tentang
penyelidikan biji-biji pada umumnya dan tentang percobaan dari berbunga-berbuah
dan berkecambahnya biji jati. Penelitian
studi biologi bunga jati pada tahun 1930 oleh Coster dan tahun 1931 melaporkan
hasil penelitiannya, walaupun terbatas pada penyerbukan terkendali. Menurut Coster penyerbukan jati dibantu oleh
insekt dan pembuahannya terjadi secara gaetonogam (pada individu yang sama) dan
xenogam (diantara individu yang
berlainan) (Hardjodarsono, 1984). Coster dan Eidman 1934, telah melakukan
pengamatan biji jati berbagai asal. Hasil pengamatannya antara lain “ biji dari
Jawa dan Muna, serta Indo China (Kay, Kovai, Kouoc dan Hinh) semuanya mempunyai
kulit buah luar yang tipis, berbulu seperti kempa, kulit buah tengah tebal
seperti spons, sedangkan biji dari India (Malabar, Godavari dan Central
Provinces) hampir tidak berbulu dan
kulit buah tengah amat tipis. Tentang perkecambahannya bahwa semua biji dari
Indo China, Birma, Siam dan India kecuali Malabar agak lama berkecambah. Eidman
(1934) juga telah melakukan penelitian pemilahan berat dan besar biji jati.
Percobaan pemilahan biji jati berdasarkan besar biji diambal biji dari berbagai
asal seperti asal biji: Muna, Cepu, Pati, Gundih, Ponorogo, Jati doreng, Jati
benjol dan jati batang halus. Biji jati yang paling besar (lebih 14 mm diameternya)
adalah asal dari Gundih.
Pada tahun 1932 dimulai uji
provenance dan varietas jati oleh Badan Litbang Kehutanan (Bosbouw Proefstation) di KPH Bojonegoro, KPH Randublatung, KPH
Ngawi dan KPH Blitar yang meliputi 14 ecotype, dan 3 varietas (galstam, doreng
dan knobel), yaitu jati India ( Malabar, Central province dan Godavari), jati
Indo China (Hinh, Kay, Kuoai, dan Kouoc), jati Muna dan jati Jawa (Cepu, Pati,
Ponorogo, Gundih, Kesamben). Hasil pengamatan Coster 1934 dalam Poerwoekoesomo
1956, menjelaskan riap tertinggi pertumbuhan tinggi tercepat ialah biji dari
Jawa (Ponorogo) dan Malabar. Jati Ponorogo memiliki riap tinggi terbesar,
sedangkan Malabar lebih cepat bercabang banyak. Percobaan asal benih dan
varietas jati masih dalam pengamatan Coster dan Hardjowasono 1935 dalam
Poerwokoesoemo (1956), yang menyimpulkan bahwa pertumbuhannya hampir sama
antara jati Jawa dengan jati luar Jawa (India, Siam, Indo China). Percobaan ini
dikaji terakhir pada tahun 1958 oleh Lukito Daryadi dan disimpulkan bahwa jati
provenan Malabar dan Jawa (Pati, Cepu dan Ponorogo) tumbuh paling baik.
Penelitian yang dilakukan Coster dan Eidmann (1932), pada hakekatnya melakukan
percobaan provenan untuk meneliti
variasi alami jati (Sastrosumarto dan Hendi Suhendi, 1985).
Pada tahun 1959
Lembaga Penelitian Hutan melakukan percobaan uji provenan jati untuk meneliti pertumbuhannya pada tanah
tanah miskin. Jati yang dicoba berasal dari Malabar, Burma, Thailand, Laos,
Togo, dan Cepu. Lokasi percobaan di Cikampek (Jawa barat), Bangsri (Jawa
Tengah), dan Wonorejo (Jawa Timur). Pada tahun 1963 dan 1964 dilakukan
pengukuran yang hasilnya bahwa di Cikampek dengan tanah latosol podsolid merah
untuk jati Malabar dan jati Burma tumbuh terbaik, di Bangsri jati Malabar dan
jati Cepu terbaik, di Wonorejo dengan tanah mediteran dan gromusol jati Cepu
dan Thailand tumbuh terbaik (Soerianegara, 1974; Harahap et.al., 1978; Soeseno,
1993). Namun sayangnya bahwa tahap awal program pemuliaan jati ini tidak
dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu seleksi pohon plus, pembangunan kebun benih,
bank klon, uji keturunan, kebun benih klon dsb.
3. Program Pemuliaan Jati di Perum
Perhutani
Rencana program
pemuliaan pohon hutan di Indonesia pertama kali dibuat tahun 1930 dan jenis
yang pertama kali ditangani adalah jati (Wind, 1930; Thorenaar, 1930; Gresser
1930 dalam Sastrosumarto dan Hendi Suhendi, 1985). Tetapi untuk beberapa waktu
program perbaikan genetik jati ini terbengkelai. Melihat pentingnya pemuliaan pohon dalam
rangka memperbaiki generasi tanaman dan menentukan keberhasilan pembangunan
hutan, maka Perum Perhutani kemudian menyusun program pemuliaan pohon. Baru pada tahun 1981 Perum Perhutani menyusun
program pemuliaan pohon jati. Program Pemuliaan pohon jati di Perhutani tahun
1981 dengan adanya usaha-usaha untuk menetapkan daerah penghasil benih, mencari
pohon plus dan membangun bank klon serta kebun benih klonal (Wirjodarmodjo dan
Subroto, 1983). Adapun metode pemuliaan yang ditempuh oleh Perum Perhutani
selanjutnya adalah penunjukkan Areal Produksi Benih (APB), pemilihan pohon
plus, uji provenans, uji keturunan, uji klon, pembangunan kebun benih klon,
kebun benih semai dan bank klon.
Di dalam Action
Program Pemuliaan Jati Perum Perhutani tahun 1983, di tunjuk 8 KPH, yaitu 5 KPH
di Unit I Jawa Tengah, dan 3 KPH di Unit II Jawa Timur sebagai APB. APB ini
merupakan sumber biji bersifat sementara, yang hanya diperlukan sebelum kebun
benih klon dan kebun benih semai dapat mencukupi biji yang diperlukan. Sampai
tahun 1996 jumlah APB jati di wilayah Perhutani mencapai luas 4.360 ha.
Pohon plus
dipilih dari tegakan jati tanaman umur 15 tahun keatas. Sampai tahun 2000 pohon
plus asal dari Jawa sudah sekitar 300 pohon dan dari luar Jawa sekitar 380 pohon plus. Pemilihan pohon
plus jati dilaksanakan dengan sistem “North
Carolina State University” yaitu calon pohon plus di nilai (scoring) terhadap lima (5) pohon
pembanding terbaik sekitarnya, dengan syarat umur pohon plus tidak boleh lebih
tua (3 tahun) dari umur rata-rata pohon pembanding (Anonim, 1983).
Pembangunan KBK
jati tahun 1983,semula dibangun di 2 lokasi yaitu di KPH Cepu dan KPH Padangan,
kemudian diperluas ke KPH Randublatung. Luas KBK jati di 3 lokasi ± 1300 ha, terdiri 480,7 ha KBK Cepu, 640 Ha KBK Padangan
dan 174,4 Ha KBK Randublatung. KBK dibangun dengan menanam secara acak
sistematik, materi berasal dari bud grafting pohon plus jati dengan jarak tanam
10 x 10 m.
Bank klon
berfungsi untuk menyimpan sifat-sifat genetis pohon plus, satu pohon plus
dibuat sedikitnya 10 bud grafting dengan jarak tanam 6 x 6 m. Sampai tahun 2000
ini telah dibangun bank klon seluas 71.7
ha.
Pembangunan uji
keturunan dimulai tahun 1987 dilakukan di Kendal, Cepu dan Saradan dengan
menggunakan benih dari 108 pohon plus. Pada tahun 1988 Fakultas Kehutanan UGM
bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah membangun kombinasi
uji provenan dengan uji keturunan half-sib
di Jember dan Wanagama I, yang benihnya diambil dari 24 provenans dan dari 189
famili.
Pada tahun 1995
Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM membangun uji sumber
benih jati yang juga merupakan uji keturunan half sib dilakukan di petak 114,
RPH Jatikusumo, BKPH Kedung Jambu, KPH Randublatung. Benih diambil dari 169
tegakan (petak), yang terdiri dari 142 petak APB, 3 klon dari kebun benih klon
(KBK), dan 24 petak tegakan biasa (rata-rata), yang berada di 10 KPH Perum
Perhutani, Unit I Jawa Tengah (Suparno, 1995).
Perhatian
terhadap pemuliaan pohon oleh Perum Perhutani telah mengalami perkembangan ke arah
semakin baik dengan didirikannya Teak
Center di Cepu tahun 1997 sebagai Kepala Pusat Ir. Koen Marijatin, karena
berhalangan sakit sejak tanggal 1 Januari 1998 Kepala Divisi Perencanaan dan
Pengembangan Ir. Poedjorahardjo, MSc. ditunjuk untuk mewakili jabatan Kepala
Pusat Pengembangan Hutan, Pusat Jati Cepu dengan surat No: 38/012.2/Up/Dir. Pada
saat itu juga semua kegiatan penelitian hutan di Perum Perhutani dilakukan di Teak Center dengan tujuan penelitian yang
terfokus pada jati. Peresmian Teak Center dilakukan 5 Februari 1998 oleh
Menteri Kehutanan Ir. Djamaluddin
Suryohadikusumo. Pada tahun 1999 terjadi pergantian Kepala Pusat Pengembangan
Hutan, Pusat Jati (Pusbanghut) yang semula Ir. Poedjorahardjo, MSc digantikan
oleh Ir. Sadhardjo Siswamartana, MSc.. Dengan berkembangnya penelitian dan
pengembangan hutan yang semula terfokus pada jati dan asosianya pada tahun 2000
Pusbanghut berubah menjadi Pusat Pengembangan Sumberdaya Hutan (Pusbang SDH)
dengan tugas lebih luas lagi yaitu ditambah penelitian aspek lingkungan.
Tahun 1997
Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM membangun uji
keturunan jati di Pasar Sore dan Sekaran KPH Cepu, benih diambil dari 90 pohon
plus (Sutrisno, 1998). Pembangunan uji keturunan ini dilanjutkan tahun 1998 dan
1999 di 4 KPH yaitu KPH Cepu, KPH Bojonegoro, KPH Ngawi di
Walikukun serta KPH Ciamis (Widiarto, 2000). Pada tahun 2000, 2001 masih
dilakukan uji keturunan half sib
sampai seluruh pohon plus teruji.
Pembangunan
kebun pangkas dilakukan tahun 1997, 1998 dan 1999 Perum Perhutani bekerjasama
dengan Fakultas Kehutanan UGM. Kebun pangkas diperuntukan untuk menyiapkan
bahan stek untuk uji klon. Kebun pangkas berasal dari bud grafting dari pohon
plus dari Jawa dan Luar Jawa. Pada tahun
2002 telah dibangun kebun pangkas terseleksi hasil dari seleksi uji klon berjumlah
12 klon terbaik (Wibowo, 2002).
Pembangunan uji
klon telah dilakukan pada tahun 1999 dan 2000 yang merupakan kerjasama Perum
Perhutani dengan Fakultas Kehutanan UGM, dibangun di 4 (empat) lokasi yaitu KPH
Cepu, KPH Bojonegoro, KPH Ngawi dan KPH Ciamis. Materi bibit diambil hasil uji
kemampuan perakaran stek pucuk jati dari kebun pangkas.
Pada tahun 2003
dilakukan uji perolehan genetik baik bibit dari benih maupun stek. Benih dan
stek diambil dari ranking terbaik hasil
evaluasi uji keturunan tahun 1997, 1998 dan uji klon tahun 1999.
Uji keturunan full
sib dilakukan tahun 2002, benih yang digunakan berasal dari hasil penyerbukan
terkendali di 3 KBK. Lokasi uji
keturunan full sib di KPH Bojonegoro,
KPH Ngawi, KPH Kendal, KPH Madiun, KPH Ciamis masing-masing seluas 3 ha.
Pada tahun 2003 setelah ditemukan
klon unggul hasil uji klon, dilakukan pembangunan perhutanan klon di Petak 49a,
RPH Kelapa Nunggal, BKPH Bantarsari, KPH
Pemalang seluas 10 ha, di BKPH Getas seluas 13,6 ha dan BKPH Kedunggalar seluas
4 ha KPH Ngawi. Pengembangan perhutanan
klon berlanjut tahun 2004 di coba di 6 KPH yaitu 15 ha di KPH Pemalang, 10 ha
di KPH Kebonharjo, 10 ha di KPH Ngawi, 7 ha KPH Tuban, 15 ha di KPH Nganjuk dan
10 ha di KPH Probolinggo, pada tahun 2006 dicoba lagi 10 ha di KPH Ngawi, 9 ha
di KPH Cepu, di KPH Randublatung dan KPH Nganjuk.
Pada tahun 2004 Perum Perhutani
bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM melakukan Pembangunan Hutan Jati
Prospektif melalui Regim Silvikultur Intensif. Penelitian ini merupakan
aplikasi hasil-hasil penelitian jati dari silvikultur dan pemuliaan pohon. Penelitian
dilakukan di 8 KPH (Cepu, Randublatung, Kendal, Ngawi, Bojonegoro, Saradan, Indramayu
dan Purwakarta) luas total 600 ha. Materi bibit jati berasal 2 klon unggul dan
28 famili unggul hasil evaluasi uji keturunan. Jarak tanam 6 x 2 m, dengan
tanaman sela lamtoro mengapit tanaman jati. Hasil yang diharapkan selain
produksi kayu sebagai hasil utama, juga sebagai penghasil benih setelah ada
penjarangan seleksi, oleh karena itu penanaman di lakukan dengan design
tertentu. Tahun 2005 dilakukan penelitian lagi dengan
seluas 300 ha di bagi 8 KPH di atas.
4. Penutup
Pemuliaan pohon merupakan
manipulasi genetik dalam suatu sistem biologi yang hasilnya baru dapat
dinikmati setelah melalui kurun waktu yang cukup panjang. Karena itu, bidang
ini selalu memerlukan para pemulia penerusnya, sistem dokumentasi yang baik dan
sistematik. Harapan yang akan didapatkan para pemulia tanaman untuk dapat
selalu menghasilkan varietas tanaman baru yang bermanfaat bernilai ekonomi tinggi
dsb.
5. Daftar Pustaka
Anonim, 1983, Action Program
Pemuliaan Pohon Perum Perhutani. Jakarta.
Cordes, 1881. Hutan Jati di Jawa.
Terjemahan Kerjasama Perum Perhutani dengan HPK Cabang Malang.
Hardjodarsono, 1984. Jati.
Cetakan ke 4. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia II. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Dephut. Jakarta.
Kaosa-ard, 1986. Teak (Tectona
grandis L.f.), Natural Distribution and Related Factor. Silvicultura 30:
173-178.
Kaosa-ard, 2000. Gains from
Provenance Selection. Proceedings Site, Tecnology and Productivity of teak
plantations. Bangkok.
Lawrence, O.H.M. 1958. Taxonomy of
Vascular Plant. The Macmillan Company. New York.
Poerwokoesoemo, R.S., 1956. Jati
(Tectona grandis) Jawa. Bogor
Sarjono, 1984. Pemuliaan Jati
Thailand. Perhutani. Jakarta.
Sastrosumarto, S dan Suhendi, 1985. Tinjauan
Mengenai Program Pemuliaan Jati (Tectona
grandis L.f.) Di Indonesia. PPPH Bogor.
Soeseno, E.B. Hardiyanto, M. Na’iem, W.W. Winarni, Suginingsih, 1993. Strategi Pemuliaan Pohon beberapa Species
di Perum Perhutani. Tim Konsultan Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan UGM.
Suparno, 1995. Studi Awal Variasi
Genetik Sumber Benih Jati (Tectona
grandis L. f.) dari Wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah KPH
Randublatung. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Sutrisno, 1998. Evaluasi Awal Uji
Keturunan 90 Famili Jati (Tectona grandis
L. f.) Di Perum Perhutani KPH Cepu. Tesis S-2 Pascasarjana UGM. Tidak
dipublikasikan.
Wibowo, Aris, 2002. Optimalisasi
Kebun Pangkas Jati. Laporan Akhir Penelitian Kebun Pangkas Pusbang SDH
Cepu.
Widiarto, Bambang, 2000. Evaluasi
Awal Uji Keturunan Half-Sib Tectona grandis L. f. Sampai Umur 1 Tahun Di BKPH
Dander Dan BKPH Temayang, KPH Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi Fakultas
Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Wirjodarmodjo, H dan P.M. Subroto, 1983. Teak Improvement by Perum Perhutani. Duta Rimba 83-64/IX :3-13.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar