Minggu, 26 Januari 2014

SEJARAH PEMULIAAN JATI


Oleh: Aris Wibowo
Puslitbang Perhutani-Cepu

1.  Sistematika dan Persebaran Jati

Menurut Heyne (1987), tanaman jati memiliki nama daerah bermacam-macam, seperti teaka, teackbaum (Jerman), teak (Inggris), jati, jatos (Jawa), dan nama daerah lainya kyan (Myanmar), sagwan (India), maisak (Thailand), teck (Perancis), teca (Brazillia), Java teak (Jerman). Sistematika secara ilmiah jati (Tectona grandis Lf.) seperti yang dikutip dari Lawrence (1958) sebagai berikut:
Divisio           :  Spermatophyta
Subdivisio     : Angiospermae
Classis            : Dicotyledonae
Ordo               : Lamiales
Sub ordo        : Verbenales
Familia           : Verbenaceae
Genus             : Tectona
Species           : Tectona grandis L.f.
Penyebaran jati alam terdapat di Asia Tenggara, dari India melalui Burma dan Thailand ke Laos, antara 730-1030 Bujur Timur. Di India dibatasi oleh 90 garis Lintang Utara, dan di Burma 25,50 Utara. (Kaosa-ard 1986 : Kaosa- ard, 2000). Di Indonesia jati juga terdapat secara alam terutama di Jawa, Kangean, Bali dan Muna, pada 70 lintang dan 1060 sampai 1230 bujur Timur, juga ditemukan di Buton, Maluku (Wetar), Sumbawa dan Lampung (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Lebih lanjut Soeseono, dkk.(1995) menjelaskan bahwa sebaran alami jati terdapat di India, Burma, Muangthai, Vietnam dan di tanam diluar sebaran alaminya antara lain di Papua New Guenea, Malaysia, Sabah, Filipina, Brunai, Trinidad, Puertorico, Afrika Tropika, Ceylon, Cina. Sampai sekarang belum jelas apakah jati di Jawa, Bali, Kanggean dan Muna merupakan species asli  atau introduksi dari India (Hedegart, 1976; dalam Soeseno, dkk, 1993). Tetapi menurut Poerwokoesoemo (1956) jati mungkin species asli Indonesia berdasarkan beberapa bukti tentang nama tempat yang menggunakan nama jati. Tanaman jati di Indonesia sampai saat ini masih diperdebatkan asalnya. Ada teori Altona (1922) yang menyatakan bahwa jati di Indonesia dibawa oleh bangsa Hindu. Apabila hal itu benar diperkirakan tanaman jati pertama di Indonesia pada tahun 500-an.
Jati tumbuh subur dan mencapai ukuran besar pada daerah yang memiliki iklim tropika yang panas dan lembab, dengan curah hujan tahunan 1200-2500 mm (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Di Indonesia jati dapat tumbuh di tanah datar dan berbukit rendah sampai ketinggian 700 meter diatas permukaan laut (dpl.) dan bila ketinggiannya lebih dari 700 m dpl. sudah jarang ditemui. Sedangkan di India jati masih dapat tumbuh pada ketinggian 1300 m dpl. dan di Burma 1000m dpl. (Hardjodarsono, 1985).
Tanaman jati termasuk jenis suka cahaya, dapat mencapai tinggi 45 m, ukuran diameter batang 150 cm, batang bebas cabang dapat 60 % dari tinggi pohon dan mencapai umur 500 tahun pada tempat tumbuh yang baik. Pertumbuhan pohon jati dapat mencapai tinggi 50 meter pada tanah subur (bonita 5-6), sedangkan pada jenis tanah yang kurang subur seperti margel, batu kapur,dan batu pasir, tinggi pohon hanya mencapai 30m (Poerwokoesoemo, 1956). Jati tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan rata-rata 1.250-2.500 mm pertahun, dengan 3-5 bulan kering per tahun. Temperatur optimum adalah 270 C -360 C pada siang hari dan antara 200 C-300 C pada malam hari ( Kaosa-ard 1986 : Kaosa- ard, 2000).
Jati adalah “calciolus tree species” yaitu memerlukan unsur kalsium dalam jumlah relatif besar dari tumbuhnya untuk tumbuh dan berkembang ( Kaosa-ard, 1986). Hal ini dibuktikan dari hasil analisa abu yakni ditemukannya unsur-unsur yang paling banyak pada kayu jati adalah Calcium (CaO) 31,3%, Phosphorus (P2O5) 29,7% dan Silica (SiO2)sebanyak 25 % (Sarjono, 1984).


2. Awal Penelitian Pemuliaan Jati

          Dalam pengelolaan jati pada dekade 1800-an selain penebangan kayu, ternyata telah dilakukan penelitian-penelitian tentang seleksi dan varietas jati. Tepatnya pada tahun 1829 dalam Regleman pengelolaan jati diinstruksikan tentang penanaman biji jati barasal dari biji jati sungu, jati minyak, dan jati lainnya yang baik, tetapi bukan jati kapur. Pada tahun 1851 Dr. S. Figee, telah melakukan penelitian BJ (berat janis) antara kayu jati Jawa (BJ = 0.645 dan 0.674) dan kayu Jati dari India (BJ= 0.617; 0.743, dan 0.639). Pada tahun 1866 De Sturler juga meneliti berat jenis dan daya tekan kayu dari berbagai varietas jati yaitu berat jenis jati kapur 0.640, berat jenis jati sungguh 0.739 dan berat jenis jati doreng 0.750 . Hasil pengamatan Dr. Nordlinger menunjukkan bahwa dalam satu batang mulai dari pangkal sampai ujung mempunyai berat jenis yang berbeda. Lebih lanjut Dr. Nordlinger melakukan penelitian berat jenis dengan hasil yang berbeda-beda pada beberapa varietas jati (jati doreng, jati kapur, jati soenggoeh, jati lengo, jati weroe dan jati duri) di Randublatung dan Rembang (Cordes, 1881).
          Menurut Cordes (1881) penggunaan jati berdasar BJ (berat janis) berdasarkan verietas, seperti jati doreng karena seratnya mempunyai gambaran yang indah dipergunakan untuk membuat meja, kursi atau perabot rumah tangga lainnya. Lebih lanjut Cordes (1881) menerangkan bahwa jati asal Malabar dianggap paling baik untuk pembuatan perahu. Soepardi 1931 menyatakan bahwa jati doreng lebih disebabkan adanya zat-zat hitam didalam buluh kayu.
          Pengamatan varietas jati terus dilakukan, pada tahun 1931 Van-Dorn melakukan pengamatan varietas jati benjol lebih disebabkan oleh tunas. Tahun 1937, Bianchi dalam majalah Tectona menjelaskan hasil pengamatannya tentang sifat mekanis kayu jati  asal Jawa, Siam dan Burma, bahwa jati Jawa setaraf dengan jati Burma dan Siam. Hasil pengamatannya antara lain: berat jenis (0.703) jati Burma lebih tinggi dari jati Jawa dan Siam (0,63-0.67), kekuatan hingga batas perimbangan dari ketiga kayu hampir sama, dsb. Dengan melihat berbagai percobaan di atas jelas bahwa usaha pemuliaan pohon jati telah dilakukan sejak dahulu seperti mempelajari seleksi dan varietas jati.
          Pada tahun 1897 secara resmi dimulai pengelolaan hutan jati di Indonesia ditandai dengan berdirinya Jawatan Kehutanan. Sistem kebijakan dan metodologi yang dianut, berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosial ekonomi.
          Seleksi benih jati untuk bisa menjadi tanaman jati yang baik, subur dan kuat telah dilakukan kira-kira tahun 1920-an. Tahun 1921 Dr. R. Wind menulis dalam majalah Tectona tentang penyelidikan biji-biji pada umumnya dan tentang percobaan dari berbunga-berbuah dan berkecambahnya biji jati.  Penelitian studi biologi bunga jati pada tahun 1930 oleh Coster dan tahun 1931 melaporkan hasil penelitiannya, walaupun terbatas pada penyerbukan terkendali.  Menurut Coster penyerbukan jati dibantu oleh insekt  dan pembuahannya terjadi secara gaetonogam (pada individu yang sama) dan xenogam (diantara individu yang berlainan) (Hardjodarsono, 1984). Coster dan Eidman 1934, telah melakukan pengamatan biji jati berbagai asal. Hasil pengamatannya antara lain “ biji dari Jawa dan Muna, serta Indo China (Kay, Kovai, Kouoc dan Hinh) semuanya mempunyai kulit buah luar yang tipis, berbulu seperti kempa, kulit buah tengah tebal seperti spons, sedangkan biji dari India (Malabar, Godavari dan Central Provinces)  hampir tidak berbulu dan kulit buah tengah amat tipis. Tentang perkecambahannya bahwa semua biji dari Indo China, Birma, Siam dan India kecuali Malabar agak lama berkecambah. Eidman (1934) juga telah melakukan penelitian pemilahan berat dan besar biji jati. Percobaan pemilahan biji jati berdasarkan besar biji diambal biji dari berbagai asal seperti asal biji: Muna, Cepu, Pati, Gundih, Ponorogo, Jati doreng, Jati benjol dan jati batang halus. Biji jati yang paling besar (lebih 14 mm diameternya) adalah asal dari Gundih.
          Pada tahun 1932 dimulai uji provenance dan varietas jati oleh Badan Litbang Kehutanan (Bosbouw Proefstation) di KPH Bojonegoro, KPH Randublatung, KPH Ngawi dan KPH Blitar yang meliputi 14 ecotype, dan 3 varietas (galstam, doreng dan knobel), yaitu jati India ( Malabar, Central province dan Godavari), jati Indo China (Hinh, Kay, Kuoai, dan Kouoc), jati Muna dan jati Jawa (Cepu, Pati, Ponorogo, Gundih, Kesamben). Hasil pengamatan Coster 1934 dalam Poerwoekoesomo 1956, menjelaskan riap tertinggi pertumbuhan tinggi tercepat ialah biji dari Jawa (Ponorogo) dan Malabar. Jati Ponorogo memiliki riap tinggi terbesar, sedangkan Malabar lebih cepat bercabang banyak. Percobaan asal benih dan varietas jati masih dalam pengamatan Coster dan Hardjowasono 1935 dalam Poerwokoesoemo (1956), yang menyimpulkan bahwa pertumbuhannya hampir sama antara jati Jawa dengan jati luar Jawa (India, Siam, Indo China). Percobaan ini dikaji terakhir pada tahun 1958 oleh Lukito Daryadi dan disimpulkan bahwa jati provenan Malabar dan Jawa (Pati, Cepu dan Ponorogo) tumbuh paling baik. Penelitian yang dilakukan Coster dan Eidmann (1932), pada hakekatnya melakukan percobaan provenan  untuk meneliti variasi alami jati (Sastrosumarto dan Hendi Suhendi, 1985).
Pada tahun 1959 Lembaga Penelitian Hutan melakukan percobaan uji provenan  jati untuk meneliti pertumbuhannya pada tanah tanah miskin. Jati yang dicoba berasal dari Malabar, Burma, Thailand, Laos, Togo, dan Cepu. Lokasi percobaan di Cikampek (Jawa barat), Bangsri (Jawa Tengah), dan Wonorejo (Jawa Timur). Pada tahun 1963 dan 1964 dilakukan pengukuran yang hasilnya bahwa di Cikampek dengan tanah latosol podsolid merah untuk jati Malabar dan jati Burma tumbuh terbaik, di Bangsri jati Malabar dan jati Cepu terbaik, di Wonorejo dengan tanah mediteran dan gromusol jati Cepu dan Thailand tumbuh terbaik (Soerianegara, 1974; Harahap et.al., 1978; Soeseno, 1993). Namun sayangnya bahwa tahap awal program pemuliaan jati ini tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu seleksi pohon plus, pembangunan kebun benih, bank klon, uji keturunan, kebun benih klon dsb.


3. Program Pemuliaan Jati di Perum Perhutani

Rencana program pemuliaan pohon hutan di Indonesia pertama kali dibuat tahun 1930 dan jenis yang pertama kali ditangani adalah jati (Wind, 1930; Thorenaar, 1930; Gresser 1930 dalam Sastrosumarto dan Hendi Suhendi, 1985). Tetapi untuk beberapa waktu program perbaikan genetik jati ini terbengkelai.  Melihat pentingnya pemuliaan pohon dalam rangka memperbaiki generasi tanaman dan menentukan keberhasilan pembangunan hutan, maka Perum Perhutani kemudian menyusun program pemuliaan pohon.    Baru pada tahun 1981 Perum Perhutani menyusun program pemuliaan pohon jati. Program Pemuliaan pohon jati di Perhutani tahun 1981 dengan adanya usaha-usaha untuk menetapkan daerah penghasil benih, mencari pohon plus dan membangun bank klon serta kebun benih klonal (Wirjodarmodjo dan Subroto, 1983). Adapun metode pemuliaan yang ditempuh oleh Perum Perhutani selanjutnya adalah penunjukkan Areal Produksi Benih (APB), pemilihan pohon plus, uji provenans, uji keturunan, uji klon, pembangunan kebun benih klon, kebun benih semai dan bank klon.
Di dalam Action Program Pemuliaan Jati Perum Perhutani tahun 1983, di tunjuk 8 KPH, yaitu 5 KPH di Unit I Jawa Tengah, dan 3 KPH di Unit II Jawa Timur sebagai APB. APB ini merupakan sumber biji bersifat sementara, yang hanya diperlukan sebelum kebun benih klon dan kebun benih semai dapat mencukupi biji yang diperlukan. Sampai tahun 1996 jumlah APB jati di wilayah Perhutani mencapai luas 4.360 ha.
Pohon plus dipilih dari tegakan jati tanaman umur 15 tahun keatas. Sampai tahun 2000 pohon plus asal dari Jawa sudah sekitar 300 pohon dan dari luar  Jawa sekitar 380 pohon plus. Pemilihan pohon plus jati dilaksanakan dengan sistem “North Carolina State University” yaitu calon pohon plus di nilai (scoring) terhadap lima (5) pohon pembanding terbaik sekitarnya, dengan syarat umur pohon plus tidak boleh lebih tua (3 tahun) dari umur rata-rata pohon pembanding (Anonim, 1983).
Pembangunan KBK jati tahun 1983,semula dibangun di 2 lokasi yaitu di KPH Cepu dan KPH Padangan, kemudian diperluas ke KPH Randublatung. Luas KBK jati di 3 lokasi ± 1300 ha, terdiri 480,7 ha KBK Cepu, 640 Ha KBK Padangan dan 174,4 Ha KBK Randublatung. KBK dibangun dengan menanam secara acak sistematik, materi berasal dari bud grafting pohon plus jati dengan jarak tanam 10 x 10 m.
Bank klon berfungsi untuk menyimpan sifat-sifat genetis pohon plus, satu pohon plus dibuat sedikitnya 10 bud grafting dengan jarak tanam 6 x 6 m. Sampai tahun 2000 ini telah dibangun bank klon  seluas 71.7 ha.
Pembangunan uji keturunan dimulai tahun 1987 dilakukan di Kendal, Cepu dan Saradan dengan menggunakan benih dari 108 pohon plus. Pada tahun 1988 Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah membangun kombinasi uji provenan dengan uji keturunan half-sib di Jember dan Wanagama I, yang benihnya diambil dari 24 provenans dan dari 189 famili.
Pada tahun 1995 Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM membangun uji sumber benih jati yang juga merupakan uji keturunan half sib dilakukan di petak 114, RPH Jatikusumo, BKPH Kedung Jambu, KPH Randublatung. Benih diambil dari 169 tegakan (petak), yang terdiri dari 142 petak APB, 3 klon dari kebun benih klon (KBK), dan 24 petak tegakan biasa (rata-rata), yang berada di 10 KPH Perum Perhutani, Unit I Jawa Tengah (Suparno, 1995).
Perhatian terhadap pemuliaan pohon oleh Perum Perhutani telah mengalami perkembangan ke arah semakin baik dengan didirikannya Teak Center di Cepu tahun 1997 sebagai Kepala Pusat Ir. Koen Marijatin, karena berhalangan sakit sejak tanggal 1 Januari 1998 Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Ir. Poedjorahardjo, MSc. ditunjuk untuk mewakili jabatan Kepala Pusat Pengembangan Hutan, Pusat Jati Cepu dengan surat No: 38/012.2/Up/Dir. Pada saat itu juga semua kegiatan penelitian hutan di Perum Perhutani dilakukan di Teak Center dengan tujuan penelitian yang terfokus pada jati. Peresmian Teak Center dilakukan 5 Februari 1998 oleh Menteri Kehutanan  Ir. Djamaluddin Suryohadikusumo. Pada tahun 1999 terjadi pergantian Kepala Pusat Pengembangan Hutan, Pusat Jati (Pusbanghut) yang semula Ir. Poedjorahardjo, MSc digantikan oleh Ir. Sadhardjo Siswamartana, MSc.. Dengan berkembangnya penelitian dan pengembangan hutan yang semula terfokus pada jati dan asosianya pada tahun 2000 Pusbanghut berubah menjadi Pusat Pengembangan Sumberdaya Hutan (Pusbang SDH) dengan tugas lebih luas lagi yaitu ditambah penelitian aspek lingkungan.
Tahun 1997 Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM membangun uji keturunan jati di Pasar Sore dan Sekaran KPH Cepu, benih diambil dari 90 pohon plus (Sutrisno, 1998). Pembangunan uji keturunan ini dilanjutkan tahun 1998 dan 1999 di 4  KPH yaitu  KPH Cepu, KPH Bojonegoro, KPH Ngawi di Walikukun serta KPH Ciamis (Widiarto, 2000). Pada tahun 2000, 2001 masih dilakukan uji keturunan half sib sampai seluruh pohon plus teruji.
Pembangunan kebun pangkas dilakukan tahun 1997, 1998 dan 1999 Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM. Kebun pangkas diperuntukan untuk menyiapkan bahan stek untuk uji klon. Kebun pangkas berasal dari bud grafting dari pohon plus dari Jawa dan Luar Jawa.  Pada tahun 2002 telah dibangun kebun pangkas terseleksi hasil dari seleksi uji klon berjumlah 12 klon terbaik (Wibowo, 2002).
Pembangunan uji klon telah dilakukan pada tahun 1999 dan 2000 yang merupakan kerjasama Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan UGM, dibangun di 4 (empat) lokasi yaitu KPH Cepu, KPH Bojonegoro, KPH Ngawi dan KPH Ciamis. Materi bibit diambil hasil uji kemampuan perakaran stek pucuk jati dari kebun pangkas.
Pada tahun 2003 dilakukan uji perolehan genetik baik bibit dari benih maupun stek. Benih dan stek  diambil dari ranking terbaik hasil evaluasi uji keturunan tahun 1997, 1998 dan uji klon tahun 1999.
Uji keturunan full sib dilakukan tahun 2002, benih yang digunakan berasal dari hasil penyerbukan terkendali di  3 KBK. Lokasi uji keturunan full sib  di KPH Bojonegoro, KPH Ngawi, KPH Kendal, KPH Madiun, KPH Ciamis masing-masing seluas 3 ha.
Pada tahun 2003 setelah ditemukan klon unggul hasil uji klon, dilakukan pembangunan perhutanan klon di Petak 49a, RPH Kelapa Nunggal, BKPH Bantarsari,  KPH Pemalang seluas 10 ha, di BKPH Getas seluas 13,6 ha dan BKPH Kedunggalar seluas 4 ha  KPH Ngawi. Pengembangan perhutanan klon berlanjut tahun 2004 di coba di 6 KPH yaitu 15 ha di KPH Pemalang, 10 ha di KPH Kebonharjo, 10 ha di KPH Ngawi, 7 ha KPH Tuban, 15 ha di KPH Nganjuk dan 10 ha di KPH Probolinggo, pada tahun 2006 dicoba lagi 10 ha di KPH Ngawi, 9 ha di KPH Cepu, di KPH Randublatung dan KPH Nganjuk.
Pada tahun 2004 Perum Perhutani bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM melakukan Pembangunan Hutan Jati Prospektif melalui Regim Silvikultur Intensif. Penelitian ini merupakan aplikasi hasil-hasil penelitian jati dari silvikultur dan pemuliaan pohon. Penelitian dilakukan di 8 KPH (Cepu, Randublatung, Kendal, Ngawi, Bojonegoro, Saradan, Indramayu dan Purwakarta) luas total 600 ha. Materi bibit jati berasal 2 klon unggul dan 28 famili unggul hasil evaluasi uji keturunan. Jarak tanam 6 x 2 m, dengan tanaman sela lamtoro mengapit tanaman jati. Hasil yang diharapkan selain produksi kayu sebagai hasil utama, juga sebagai penghasil benih setelah ada penjarangan seleksi, oleh karena itu penanaman di lakukan dengan design tertentu.   Tahun 2005 dilakukan penelitian lagi dengan seluas 300 ha di bagi 8 KPH di atas.

4.  Penutup

          Pemuliaan pohon merupakan manipulasi genetik dalam suatu sistem biologi yang hasilnya baru dapat dinikmati setelah melalui kurun waktu yang cukup panjang. Karena itu, bidang ini selalu memerlukan para pemulia penerusnya, sistem dokumentasi yang baik dan sistematik. Harapan yang akan didapatkan para pemulia tanaman untuk dapat selalu menghasilkan varietas tanaman baru yang bermanfaat bernilai ekonomi tinggi dsb.

5.  Daftar Pustaka

Anonim, 1983, Action Program Pemuliaan Pohon Perum Perhutani. Jakarta.
Cordes, 1881. Hutan Jati di Jawa. Terjemahan Kerjasama Perum Perhutani dengan HPK Cabang Malang.
Hardjodarsono, 1984. Jati. Cetakan ke 4. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Dephut. Jakarta.
Kaosa-ard, 1986. Teak (Tectona grandis L.f.), Natural Distribution and Related Factor. Silvicultura 30: 173-178.
Kaosa-ard, 2000. Gains from Provenance Selection. Proceedings Site, Tecnology and Productivity of teak plantations. Bangkok.
Lawrence, O.H.M. 1958. Taxonomy of Vascular Plant. The Macmillan Company. New York.
Poerwokoesoemo, R.S., 1956. Jati (Tectona grandis) Jawa. Bogor
Sarjono, 1984. Pemuliaan Jati Thailand. Perhutani. Jakarta.
Sastrosumarto, S dan Suhendi, 1985. Tinjauan Mengenai Program Pemuliaan Jati (Tectona grandis L.f.) Di Indonesia. PPPH Bogor.
Soeseno, E.B. Hardiyanto, M. Na’iem, W.W. Winarni, Suginingsih, 1993. Strategi Pemuliaan Pohon beberapa Species di Perum Perhutani. Tim Konsultan Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan UGM.
Suparno, 1995. Studi Awal Variasi Genetik Sumber Benih Jati (Tectona grandis L. f.) dari Wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah KPH Randublatung. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Sutrisno, 1998. Evaluasi Awal Uji Keturunan 90 Famili Jati (Tectona grandis L. f.) Di Perum Perhutani KPH Cepu. Tesis S-2 Pascasarjana UGM. Tidak dipublikasikan.
Wibowo, Aris, 2002. Optimalisasi Kebun Pangkas Jati. Laporan Akhir Penelitian Kebun Pangkas Pusbang SDH Cepu.
Widiarto, Bambang, 2000. Evaluasi Awal Uji Keturunan Half-Sib Tectona grandis L. f. Sampai Umur 1 Tahun Di BKPH Dander Dan BKPH Temayang, KPH Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Wirjodarmodjo, H dan P.M. Subroto, 1983. Teak Improvement by Perum Perhutani. Duta Rimba 83-64/IX :3-13. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar